Faktor terpenting didalam peningkatan kualitas pengajaran adalah guru. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam mengorganisasikan kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Guru berperan sebagai pengelola proses belajar-mengajar, bertindak sebagai fasilitor yang berusaha mencipatakan kondisi belajar mengajar yang efektif, sehingga memungkinkan proses belajar mengajar, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik, dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pengajaran yang harus mereka capai. Untuk memenuhi hal tersebut di atas, guru dituntut mampu mengelola proses belajar-mengajar, bertindak sebagai fasilitor yang berusaha mencipatakan kondisi belajar mengajar yang efektif, sehingga memungkinkan proses belajar mengajar, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik, dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pengajaran yang harus mereka capai. Untuk memenuhi hal tersebut di atas, guru dituntut mampu mengelola proses belajar mengajar yang memberikan rangsangan kepada siswa, sehingga ia mau belajar karena siswalah subyek utama dalam belajar.
Kegiatan belajar bersama dengan memanfaatkan media audio visual yang kini hampir dimiliki semua sekolah dapat membantu memacu belajar aktif. Kegiatan belajar dan mengajar di kelas memang dapat menstimulasi belajar aktif. Namun kemampuan untuk mengajar melalui kegiatan kerjasama kelompok kecil dengan memanfaatkan media audio visual akan memungkinkan untuk menggalakkan kegiatan belajar aktif dengan cara khusus. Apa dilihat dan didengar kemudian didiskusikan siswa dengan teman-temannya dan apa yang diajarkan atau disampaikan siswa kepada teman-temannya memungkinkan mereka untuk memperoleh pemahaman dan penguasaan materi pelajaran.
Pembelajaran Agama Islam tidak lagi mengutamakan pada penyerapan melalui pencapaian informasi, tetapi lebih mengutamakan pada pengembangan kemampuan dan pemrosesan informasi. Untuk itu aktifitas peserta didik perlu ditingkatkan melalui latihan-latihan atau tugas dengan bekerja dalam kelompok kecil dan menjelaskan ide-ide kepada orang lain. (Hartoyo, 2000: 24).
Lebih dari 2400 tahun yang lalu Confucius menyatakan: “apa yang saya dengar, saya lupa. Apa yang saya lihat, saya ingat. Apa yang saya lakukan, saya paham.” Pepatah cina ini sangatlah terkenal di dunia pendidikan. Dengan pemanfaatan audio visual dan penggunaan metode tugas akan mengaktifkan tiga gaya belajar siswa yang meliputi audio, visual, dan kinetis. Hal ini tentu saja akan mampu mengkondisikan siswa memiliki motivasi.
Menurut Djamarah (2002: 114) motivasi adalah suatu pendorong yang mengubah energi dalam diri seseorang ke dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Dale (1969:180) mengemukakan bahwa bahan-bahan audio-visual dapat memberikan banyak manfaat asalkan guru berperan aktif dalam proses pembelajaran. Hubungan guru-siswa tetap merupakan elemen paling penting dalam system pendidikan modern saat ini. Guru harus selalu hadir untuk menyajikan materi pelajaran dengan bantuan media apa saja agar manfaat berikut ini dapat terealisasi:
1. Meningkatkan rasa saling pengertian dan simpati dalam kelas;
2. Membuahkan perubahan signifikan tingkah lalu siswa;
3. Menunjukkan hubungan antar mata pelajaran dan kebutuhan dan minta siswa dengan meningkatnya motivasi belajar siswa;
4. Membawa kesegaran dan variasi bagi pengalaman belajar siswa;
5. Membuat hasil belajar lebih bermakna bagi berbagai kemampuan siswa;
6. Mendorong pemanfaatan yang bermakna dari mata pelajaran dengan jalan melibatkan imajinasi dan partisipasi aktif yang mengakibatkan meningkatnya hasil belajar;
7. Memberikan umpan balik yang diperlukan yang dapat membantu siswa menemukan seberapa banyak telah mereka pelajar;
8. Melengkapi pengalaman yang kaya dengan pengalaman itu konsep-konsep yang berkala dapat kembangkan;
9. Memperluas wawasan dan pengalaman siswa yang mencerminkan pembelajaran nonverbalistik dan membuat generalisasi yang tepat;
10. Meyakinkan diri bahwa urutan dan kejelasan pikiran yang siswa butuhkan jika mereka membangun struktur konsep dan system gagasan yang bermakna.
Sudjana dan Rivai (1992;2) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu:
1. Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar;
2. Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran;
3. Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran;
4. Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, memerankan, dan lain-lain.
Encyclopedei of Educational Research dalam Hamalik (1994:15) merincikan manfaat media pendidikan sebagai berikut:
1. Meletakkan dasar-dasar yang konkret untuk berpikir, oleh karena itu mengurangi verbalisme.
2. Memperbesar perhatian siswa.
3. Meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, oleh karena itu membuat pelajaran lebih mantap.
4. Memberikan pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri di kalangan siswa.
5. Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinyu, terutama melalui gambar hidup.
6. Membantu tubuhnya pengertian yang dapat membantu perkembangan kemampuan berbahasa.
7. Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain, dan membantu efisiensi dan keragaman yang lebih baik
Begitu penting media audio visual dalam pembelajaran terutama pembelajaran PAI, sehingga Direktorat Pendidikan Agama Islam kementerian Agama RI telah membentuk tim ICT dalam mendukung program DitPAI terutama membantu dalam kegiatan pelatihan dan pembinaan guru-guru PAI dalam pembuatan media pembelajaran berbasis ICT.
This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Senin, 13 April 2015
Sabtu, 08 Juni 2013
Bunga Rampai dari PORSENI PGRI Prop. Kalsel 2012
sekitar 1000 orang guru yang berada di Kalimantan selatan telah menggelar pesta olahraga dan seni sekitar 4 hari dalam kegiatan PORSENI PGRI tingkat Propinsi Kalsel VI di Banjarbaru yaitu tanggal 9 - 14 Juli 2012.
berbagai cabang olahraga dan seni telah digelar, diantaranya sepakbola, bola volly, putsal, bulu tangkis, catur, tenis meja, tenis lapangan, baca syair daerah, lagu keroncong,syarhil qur'an, baca puisi, paduan suara, musik panting,
Jumat, 07 Juni 2013
Senin, 01 April 2013
Tips Agar Anak tidak benci Untuk sekolah
Orang tua akan merasa stres jika mendengar anaknya benci ke sekolah dan tidak mau pergi bersekolah. Cara membujuknya adalah bukan dengan memarahi, melainkan cari tahu apa penyebabnya dan ajaklah si kecil bicara secara baik-baik. Mungkin hampir sebagian besar anak pernah merasakan benci untuk datang ke sekolah, namun biasanya perasaan tersebut tidak berlangsung lama. Sekolah adalah salah satu tempat dimana seseorang bisa mendapatkan pendidikan, teman dan mengembangkan kemampuan untuk bersosialisasi dengan sesama. Anak yang tidak mau sekolah bisa saja karena merasa takut atau stres untuk datang ke sekolah. Anak yang stres tentang sekolahnya akan memicu timbulnya sakit kepala atau sakit pada bagian pencernaannya. Memiliki masalah dengan waktu tidurnya juga merupakan salah satu tanda dari stres. Jika anak tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk tidur, maka anak akan suka marah-marah dan menjadi cepat lelah sepanjang hari. Perasaan tersebut bisa membuat anak merasa tidak betah atau memperburuk keadannya di sekolah. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membuat anak semangat kembali ke sekolah, seperti dikutip dari Kidshealth. 1. Ajaklah anak bicara secara baik-baik tentang masalah yang dihadapi di sekolahnya. Anak bisa berbicara dengan orang tua, teman atau guru yang dipercaya sehingga bisa membuatnya merasa lebih baik. 2. Biasakan anak untuk selalu menulis apapun yang terjadi atau perasaannya dalam sebuah diari. Hal ini bagus bagi anak yang tidak ingin berbagi dengan siapapun, karena bisa membantu mengeluarkan segala emosi yang dipendamnya. 3. Jika bermasalah dengan pelajaran di sekolah, mintalah bantuan guru di sekolah atau guru privat untuk memberinya tambahan pelajaran. Jangan biarkan hal ini berlangsung terlalu lama, karena lebih mudah untuk mengejar ketinggalan satu bab pelajaran dibandingkan dengan satu buku pelajaran. 4. Biasakan mempersiapkan segala sesuatu kebutuhan sang anak untuk ke sekolah sejak malam harinya, sehingga saat pagi hari anak tidak merasa stres atau terburu-buru yang membuatnya malas untuk pergi ke sekolah. 5. Ajaklah anak untuk menulis apa yang tidak disukai dan apa yang disukai di sekolah (meskipun mungkin hanya saat istirahat saja). Lalu cari solusi bersama-sama untuk mengatasi hal-hal yang tidak disukai anak di sekolah. sumber: eyang goegle .....
the Actract (thesis)
Rahmadi. The Implementation of Local Content: Al-Qur’an Education Curriculum at State Middle School of Paringin 4 and State Middle School of Lampihong 1 Balangan Regency. Advisors (I) Prof. DR. H. A. Fahmy Arief, MA. and (II) DR. Dina Hermina, M. Pd. Unpublished Thesis Graduate Program IAIN Antasari Banjarmasin, in the year 2012.
Key Words: implementation, curriculum, local content, Al-Qur’an education
Local content is one of the curricular activities aiming at developing the students’ competency that is compatible with characteristic and potential of the local region. The South Kalimantan provincial government has issued and implemented a penal provision No. 3 year 2009 about local content: Al-Qur’an Education. Thus, the Balangan Regional government has also to implement this at schools.
The objective of this research is to recognize and describe the implementation of the curriculum of Local content: Al-Qur’an Education at State Middle School of Paringin 4 as well as at State Middle School of Lampihong 1.
This research is descriptive in nature. phenomenology approach. The research subject is the principal, the vice-principal, curriculum section, teacher of local content: Al-Qur’an Education, and students. Eventhough the research object is the implementation curriculum of local content: Al-Qur’an Education in State Middle School of Paringin 4 and State Middle School of Lampihong 1 of Balangan Regency. The collecting information was done by three base techniques, that is interview, observation, and documentation study. While, the data analysis after collecting data.
According to the result in the field of study can be summarized that local content: Al-Qur’an Education’s teachers at both of schools have tried to apply this curriculum from planning, action (doing), and assessment. eventhough, there are so many things that is not suitable yet with expectation through penal provion publication. Whereas, there are support factors influenced to this implementation that is teacher competency principal’s support hampers factor that is students’ ability, limited of facility.
Abstract (PTK)
Rahmadi, 2010, Meningkatkan prestasi belajar siswa Kelas VIII A SMPN 4 Paringin Kabupaten Balangan dalam memahami Iman kepada Rasul Allah Melalaui Model pembelajaran Bermain peran sebagai Tamu dan Tuan Rumah, Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Kata-kata Kunci: Meningkatkan, prestasi belajar, bermain peran, tamu, tuan rumah
Kenyataaan dilapangan bahwa Banyak dijumpai prestasi belajar siswa masih rendah/belum tuntas, sehingga perlu proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif.
PTK kolaboratif ini bertujuan agar guru Pendidikan Agama Islam 1) mengetahui Bagaimana penerapan Model Pembelajaran Bermain Peran Sebagai Tamu dan Tuan rumah dapat meningkatkan prestasi dan hasil belajar siswa dalam memahami Iman kepada Rasul Allah. 2)Bagaimana Mengetahui keberhasilan guru dilihat dari aktifitasnya dalam menerapkan Model Pembelajaran Bermain Peran Sebagai Tamu dan Tuan rumah.
Subjek pelaku pembelajaran Guru Pendidikan Agama Islam kelas VIII A, subjek penerima tindakan siswa kelas VIII A Semester II tahun pelajaran 2009/2010 SMPN 4 Paringin Kecamatan Paringin Selatan Kabupaten Balangan.
Data yang diperoleh melalui observasi, catatan lapangan dan review. Semua data diperiksa dengan trianggulasi penyidik. Data dianalisa secara deskriptif kualitatif model alur.
Hasil Penelitian Tindakan Kelas ini, pertama, penerapan model pembelajaran Bermain peran sebagai tamu dan tuan ini dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam memahami Iman kepada Rasul Allah. Kedua, subjek pelaku tindakan kelas berhasil melaksanakan model pembelajaran Bermain peran sebagai tamu dan tuan. Penerapan Model Pembelajaran Bermain peran sebagai tamu dan tuan rumah dalam memahami Iman kepada Rasul Allah meningkat secara signifikan.
Kamis, 12 Januari 2012
PENDIDIKAN SEKS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendahuluan
Problema seks merupakan dasar setiap problema kelakuan lainnya, karenanya naluri seks adalah sumber tenaga manusia. Dengan demikian, berketurunan dan pembiakan adalah fakta alamiah yang sangat penting, sehingga setiap fakta lainnya dalam kehidupan bekerja untuk mengabdi kepada fakta pokok ini.
Freud dan pengikut-pengikutnya mengarahkan penelitiannya kepada pandangan bahwa dorongan seks itu telah ada sejak manusia dilahirkan , hanya bentuknya yang berbeda, baik pada masa bayi, kanak-kanak, remaja, dan remaja. Seks sering diterjemahkan/diartikan sebagai rasa nikmat/lezat atau rasa syuur.
Kenikmatan itu menurut Freud berawal dari kenikmatan seks pribadi pada bayi (autoerotism) kemudian menjadi kenikmatan seksual yang dikenal pada orang dewasa. Kenikmatan dapat dilihat pada waktu menikmati susu ibunya dengan tangan membelai/mengelus-elus ibunya, sebaliknya ibunya merasakan kasih saying pada anaknya, dan dibelainya, serta diciumnya anak bayinya. Sesungguhnya hal semacam itu identik dengan dorongan seksual dewasa.
Pengalaman-pengalaman pribadi seorang anak itu merupakan sebuah realita yang harus disikapi oleh setiap orang, tidak terkecuali bagi para orangtua, para pemerhati pendidikan dan lainnya. Dan pendidikan seks pun tidak menjadi sebuah kata yang tabu diungkapkan dan terpenting diketahui sejak dini oleh seorang anak, sehingga hal-hal yang tidak baik dapat dihindarkan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka makalah ini akan mengkaji lebih dalam lagi bagaimana pandangan sosiologi pendidikan Islam terhadap pendidikan seks itu.
B. Pengertian Pendidikan Seks
Pendidikan berasal dari kata “didik”. Bila kata ini mendapat awalan “me” akan menjadi “Mendidik”, artinya memelihara dan member pelatihan. Dalam memelihara dan member pelatihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan lebih dari sekadar pengajaran, karena pengajaran hanyalah aktivitas proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan karakter dengan segala aspek yang dicakupnya. Melalui pendidikan diharapkan manusia benar-benar menemukan “jati dirinya” sebagai manusia.
Secara umum pendidikan dimaknai sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya”.
Adapun pengertian pendidikan seks merupakan usaha sadar untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang betul-betul matang (well adjusted) dapat menggunakan seksualitasnya dengan bertanggungjawab, sehingga membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan lingkungan/masyarakatnya.
Pada International Conference of Sex Education and Family Planning tahun 1962 dicapai kesepakatan , bahwa “tujuan dari pendidikan seks untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya, secara bertanggungjawab terhadap dirinya dan terhadap orang-orang lain” (sinonim dengan perkawinan monogami yang bahagia dan sejahtera). Dalam suasana demikian dapat membina keluarga yang utuh serta penuh kasih yang saling harga-menghargai sehingga dapat mendapat anak-anak yang sehat dan bahagia pula.
Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex-instruction dan education in sexuality.
Sex-instruction ialah penerangan mengenai anatomi dan biologi dari reproduksi, termasuk pembinaan keluarga dan metode-metode kontrasepsi. Sedangkan education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk dapat memahami dirinya sendiri sebagai individu, serta untuk dapat mengadakan hubungan interpersonal yang baik. Maka pada dasarnya pendidikan seks meliputi bidang-bidang:
1. Biologi dan fisiologi, yaitu mengenai fungsi reproduksi.
2. Etika, yaitu yang menyangkut kebahagiaan orang itu sendiri.
3. Moral, mengenai hubungan dengan orang-orang lain, seperti partnernya dan dengan anak-anaknya.
4. Sosiologi, mengenai pembentukan keluarga.
Sex instruction tanpa education in sexuality dapat menyebabkan promiscuita (perkawinan semuanya, seperti ayam) serta hubungan-hubungan seks yang tidak bertanggungjawab.
Dari eksperimen yang dilakukan di Rusia dan Swedia, ternyata tidaklah mudah untuk mengajarkan di sekolah-sekolah, terutama tentang tanggungjawab dari kegiatan seksual (sexual activity) terhadap masyarakat, bila tanpa adanya latar belakang keluarga yang bahagia. Bukti-bukti menunjukan, bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga bahagia, dikemudiaan hari dapat membentuk perkawinan dan keluarga yang bahagia pula.
C. Mengapa Perlu Pendidikan Seks?
Menurut hasil survey Mc. Curry di sekolah menengah di USA beberapa waktu lalu menunjukan, kebanyakan siswa-siswa melontarkan kritik terhadap para orang tua karena tidak pernah memberikan informasi tentang seks kepada anak-anaknya. Dua pertiga dari mereka sama sekali tidak mendapat informasi apa-apa, sedang sisanya hanya mendapatkan penerangan sekadarnya.
Pada survey yang lain ternyata 70% anak wanita mendapat informasi seks terutama dari ibunya, bahwa seks itu kotor, sebab orang tua sendiri juga meliputi perasaan malu dan bersalah mengenai seks, sehingga tak punya pegangan dalam hal seksualitas dan gejala seksual. Apalagi para orang tua sering menganggap bahwa pembicaraan/informasi seks termasuk tabu/pemali. Sedangkan dua pertiga anak laki-laki ternyata telah mengetahui tentang hubungan seks sebelum orang tua mereka menginformasikannya.
Persoalannya sekarang, bagaimana mendidik para kawula muda ke arah sikap seksual (sexual attitudes) yang sehat, bila masyarakat dewasa pun belum sepaham dalam hal ini. Biasanya pendapat-pendapat mengenai pendidikan seks berbeda-beda, mulai dari mereka yang menganjurkan untuk sama sekali tidak mencari pengalaman-pengalaman seks, sampai kepada mereka yang menganjurkan kebebasan seks yang seluas-luasnya. Diantara mereka ada yang menentang pendidikan seks, ada juga golongan yang mengajarkan seks, ada juga yang menghendaki kebebasan seks yang seluas-luasnya, ada yang berpendapat bahwa pendidikan seks juga perlu bagi para orang tua, khususnya ibu-ibu yang telah “menopause” (mati haid/tidak haid lagi).
D. Kronologi Pelaksanaan Pendidikan Seks
Telah disepakati bahwa pendidikan yang berlangsung/terjadi sepanjang hayat/hidup atau life long education, atau sejak lahir sampai mati. Demikian juga pendidikan seks juga dapat dilaksanakan sepanjang hayat tetapi cukup dari lahir sampai mati.
Awal pendidikan seks dimulai sejak bayi dilahirkan, dimulai dengan sifat ingin tahu menuntun perkembangan pikirannya. Dorongan rasa ingin tahu merupakan kerinduan untuk mengetahui dan menyelidiki yang diketahuinya yang berarti merangsang kecerdasan otak, sebagai sarana berkembangnya kesanggupan untuk belajar selanjutnya.
Yang menarik perhatian dari seorang bayi yang baru dilahirkan adalah segala kebutuhan fisiknya masih harus disediakan orang tuanya (sebelum pikirannya mulai berkembang), sehingga tubuh bayi menjadi sehat, jasmani dan pikirannya. Bayi mulai tertarik pada soal makanan dan kesenangan-kesenangan fisik, kemudian barulah pikirannya mulai berkembang. Mula-mula bayi merasakan perasaan segar/sehat, kasih sayang, kehangatan, melihat pemandangan-pemandangan indah dan menarik, mendengar/menikmati bunyi-bunyian dan sebagainya.
Sekitar umur tiga sampai tujuh tahun, kecerdasan otak anak berkembang sampai taraf dimana ia mulai mengadakan pertanyaan, misalnya bagaimana ia dilahirkan ke dunia sebagai pertanyaan kekanak-kanakan. Pertanyaan semacam ini harus dijawab dengan penuh kebijaksanaa, penuh kasih sayang tanpa unsur yang menakut-nakuti, sehingga keluarga sebagai tempat pendidikan informal terlaksana dengan baik dan lancar, misalnya Berbagai pertanyaan yang dikemukakan anak tentang proses kelahiran, dan sebagainya.
Dalam bukunya Handbook on Sex Instruction Ottensen-Jensen membuat rencana pendidikan seks menurut golongan umur, yaitu:
Umur 7-10 tahun: dimulai dengan memberikan fakta-fakta tentang reproduksi pada umumnya, yaitu fertilisasi, perkawinan, serta persalinan pada binatang-binatang (ayam, kambing, ikan dan sebagainya).
Umur 10-13 tahun: diberikan embriologi alat kelamin dalam anatomi, dan sebagainya tanda-tanda kelamin sekunder, menstruasi/haid, pertumbuhan fetus/janin, dan persalinan. Harus disertai pemberian nasehat, agar jangan sampai/mudah diajak ikut dengan orang yang belum dikenal karena kemungkinan terjadinya penculikan atau pemerkosaan.
Umur 13-16 tahun: diberikan diskusi sexual intercourse (persetubuhan), premarital intercourse (persetubuhan sebelum nikah), illegitimasi (perkawinan tidak sah), dan VD (verereal Disease). Pada taraf ini diterangkan aspek social dari hubungan seks, yaitu tanggung jawab terhadap pasangan/partnernya, terhadap anak yang mungkin dilahirkan, dan terhadap lingkungannya.
Harus diterangkan/ditekankan pula tentang hubungan seks sebagai suatu tindakan yang harus berdasarkan perasaan saling cinta-mencintai dan harga menghargai. Banyak bukti menunjukan, keluarga bahagia adalah tempat yang terbaik untuk mendidik anak.
Umur 16 tahun ke atas, termasuk mereka yang telah menikah, tanpa bekal pendidikan seks sebelumnya, menurut pendapat penulis perlu mendapat perhatian, karena meskipun terlambat lebih baik daripada tidak pernah mendapatkan sama sekali, sehingga pasangan-pasangan tersebut masih dapat melakukan intensifikasi serta meningkatkan gairah dan membahagiakan pernikahannya. Termasuk mereka yang menopause, perkawinan/pernikahan mereka harus tetap indah, ditambah pendidikan seks yang semakin memantapkan kehidupan mereka berumah tangga yang akan menjadi teladan bagi keluarga, cucu-cucu, dan seluruh keturunannya.
Jadi pendidikan seks yang paling efektif diperoleh dari orang tua atau pengganti orang tua dalam rumah tangga yang bahagia. Disekolah-sekolah dapat ditekankan tentang ajaran kejujuran, tanggungjawab, self controle, dan anticipation.
Adapun hal-hal yang perlu dibicarakan dalam pendidikan seks, antara lain tentang impotensi (ketidakmampuan seksual pada pria), frigiditas pada wanita (gangguan dan ketidakmampuan seksual pada wanita), menstruasi/haid atau “datang bulan”, seks dan moral agama.
E. Pendidikan Seks dalam perspektif sosiologi Pendidikan Islam
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kebahagian individu dan keluarga serta masyarakat. Memasuki jenjang rumah tangga, selain didukung kematangan seksual (well adjusted) perlu didukung pula oleh moral agama, sehingga dapat melaksanakan seksualitasnya secara bertanggung jawab bagi dirinya masing-masing serta lingkungan sosialnya sesuai dengan agama. Karena dalam agama telah diatur peranan seks dalam perkawinan dalam kehidupan sehari-hari.
Agama dapat menjamin kebahagiaan dalam kehidupan suami-isteri, hanay kata-kata ini bukan dari para ulama/rohaniawan, melainkan merupakan pernyataan yang didukung oleh fakta-fakta, keruntuhan moral di bidang seks, baik bagi anak-anak muda maupun bagi pasangan-pasanagan suami-isteri adalah karena kebanyakan mengenyampingkan tuntunan agama, hingga tidak memiliki keyakinan iman sebagai pegangan hidup. Tanpa dasar iman, orang mudah diperbudak oleh nafsunya oleh nafsunya. Perhatikanlah firman Allah dalam Surah at Tahrim ayat 6:
••
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. 66: 6).
“dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan” (QS. 78: 8)
Maksud ayat diatas, untuk menertibkan dan penyaluran nafsu seksual, manusia hidup berjodoh-jodoh sebagai suami isteri secara baik-baik sebagaimana diatur dalam hidup perkawinan.
Kalau ditinjau dari aspek sosiologi pendidikan seks mempunyai struktur sosial yang jelas yaitu hubungan interaksi antara anak didik, guru dan lingkungan. Yang kedua, unsure-unsur sosial yang pokok yaitu norma/kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan social itu. yang ketiga, proses social yakni pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan seperti pengaruh pendidikan seks itu bagi jiwa dan kepribadian anak. Keempat, perubahan sosial, yaitu segala perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, seperti nilai, sikap dan sebagainya.
F. Simpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan seks adalah merupakan usaha sadar untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang betul-betul matang (well adjusted) dapat menggunakan seksualitasnya dengan bertanggungjawab, sehingga membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan lingkungan/masyarakatnya
2. Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex-instruction dan education in sexuality. Sex-instruction ialah penerangan mengenai anatomi dan biologi dari reproduksi, termasuk pembinaan keluarga dan metode-metode kontrasepsi. Sedangkan education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk dapat memahami dirinya sendiri sebagai individu, serta untuk dapat mengadakan hubungan interpersonal yang baik.
3. Pendidikan seks sewajarnya dimulai dari awal tahun kelahiran anak sampai menjelang dewasa, sehingga terjadinya proses pendewasaan bagi anak.
4. Agama Islam (menurut pandangan Islam) pendidikan seks sesungguhnya merupakan sebuah keharusan yang diberikan kepada anak, yang diharapkan akan memberikan makna positif bagi anak, sehingga dalam menghadapi kehidupan berkeluarga akan menjadi lebih baik dan bahagia.
Sumber kutipan:
1. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan: suatu analisis sosiologi tentang pelbagai problem pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
2. H. Hamka Abdul Aziz, Pendidikan karakter berpusat pada hati, Al Mawardi, Jakarta, 2010.
3. Al Qur’an digital versi 2,0
Problema seks merupakan dasar setiap problema kelakuan lainnya, karenanya naluri seks adalah sumber tenaga manusia. Dengan demikian, berketurunan dan pembiakan adalah fakta alamiah yang sangat penting, sehingga setiap fakta lainnya dalam kehidupan bekerja untuk mengabdi kepada fakta pokok ini.
Freud dan pengikut-pengikutnya mengarahkan penelitiannya kepada pandangan bahwa dorongan seks itu telah ada sejak manusia dilahirkan , hanya bentuknya yang berbeda, baik pada masa bayi, kanak-kanak, remaja, dan remaja. Seks sering diterjemahkan/diartikan sebagai rasa nikmat/lezat atau rasa syuur.
Kenikmatan itu menurut Freud berawal dari kenikmatan seks pribadi pada bayi (autoerotism) kemudian menjadi kenikmatan seksual yang dikenal pada orang dewasa. Kenikmatan dapat dilihat pada waktu menikmati susu ibunya dengan tangan membelai/mengelus-elus ibunya, sebaliknya ibunya merasakan kasih saying pada anaknya, dan dibelainya, serta diciumnya anak bayinya. Sesungguhnya hal semacam itu identik dengan dorongan seksual dewasa.
Pengalaman-pengalaman pribadi seorang anak itu merupakan sebuah realita yang harus disikapi oleh setiap orang, tidak terkecuali bagi para orangtua, para pemerhati pendidikan dan lainnya. Dan pendidikan seks pun tidak menjadi sebuah kata yang tabu diungkapkan dan terpenting diketahui sejak dini oleh seorang anak, sehingga hal-hal yang tidak baik dapat dihindarkan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka makalah ini akan mengkaji lebih dalam lagi bagaimana pandangan sosiologi pendidikan Islam terhadap pendidikan seks itu.
B. Pengertian Pendidikan Seks
Pendidikan berasal dari kata “didik”. Bila kata ini mendapat awalan “me” akan menjadi “Mendidik”, artinya memelihara dan member pelatihan. Dalam memelihara dan member pelatihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan lebih dari sekadar pengajaran, karena pengajaran hanyalah aktivitas proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan karakter dengan segala aspek yang dicakupnya. Melalui pendidikan diharapkan manusia benar-benar menemukan “jati dirinya” sebagai manusia.
Secara umum pendidikan dimaknai sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya”.
Adapun pengertian pendidikan seks merupakan usaha sadar untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang betul-betul matang (well adjusted) dapat menggunakan seksualitasnya dengan bertanggungjawab, sehingga membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan lingkungan/masyarakatnya.
Pada International Conference of Sex Education and Family Planning tahun 1962 dicapai kesepakatan , bahwa “tujuan dari pendidikan seks untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya, secara bertanggungjawab terhadap dirinya dan terhadap orang-orang lain” (sinonim dengan perkawinan monogami yang bahagia dan sejahtera). Dalam suasana demikian dapat membina keluarga yang utuh serta penuh kasih yang saling harga-menghargai sehingga dapat mendapat anak-anak yang sehat dan bahagia pula.
Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex-instruction dan education in sexuality.
Sex-instruction ialah penerangan mengenai anatomi dan biologi dari reproduksi, termasuk pembinaan keluarga dan metode-metode kontrasepsi. Sedangkan education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk dapat memahami dirinya sendiri sebagai individu, serta untuk dapat mengadakan hubungan interpersonal yang baik. Maka pada dasarnya pendidikan seks meliputi bidang-bidang:
1. Biologi dan fisiologi, yaitu mengenai fungsi reproduksi.
2. Etika, yaitu yang menyangkut kebahagiaan orang itu sendiri.
3. Moral, mengenai hubungan dengan orang-orang lain, seperti partnernya dan dengan anak-anaknya.
4. Sosiologi, mengenai pembentukan keluarga.
Sex instruction tanpa education in sexuality dapat menyebabkan promiscuita (perkawinan semuanya, seperti ayam) serta hubungan-hubungan seks yang tidak bertanggungjawab.
Dari eksperimen yang dilakukan di Rusia dan Swedia, ternyata tidaklah mudah untuk mengajarkan di sekolah-sekolah, terutama tentang tanggungjawab dari kegiatan seksual (sexual activity) terhadap masyarakat, bila tanpa adanya latar belakang keluarga yang bahagia. Bukti-bukti menunjukan, bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga bahagia, dikemudiaan hari dapat membentuk perkawinan dan keluarga yang bahagia pula.
C. Mengapa Perlu Pendidikan Seks?
Menurut hasil survey Mc. Curry di sekolah menengah di USA beberapa waktu lalu menunjukan, kebanyakan siswa-siswa melontarkan kritik terhadap para orang tua karena tidak pernah memberikan informasi tentang seks kepada anak-anaknya. Dua pertiga dari mereka sama sekali tidak mendapat informasi apa-apa, sedang sisanya hanya mendapatkan penerangan sekadarnya.
Pada survey yang lain ternyata 70% anak wanita mendapat informasi seks terutama dari ibunya, bahwa seks itu kotor, sebab orang tua sendiri juga meliputi perasaan malu dan bersalah mengenai seks, sehingga tak punya pegangan dalam hal seksualitas dan gejala seksual. Apalagi para orang tua sering menganggap bahwa pembicaraan/informasi seks termasuk tabu/pemali. Sedangkan dua pertiga anak laki-laki ternyata telah mengetahui tentang hubungan seks sebelum orang tua mereka menginformasikannya.
Persoalannya sekarang, bagaimana mendidik para kawula muda ke arah sikap seksual (sexual attitudes) yang sehat, bila masyarakat dewasa pun belum sepaham dalam hal ini. Biasanya pendapat-pendapat mengenai pendidikan seks berbeda-beda, mulai dari mereka yang menganjurkan untuk sama sekali tidak mencari pengalaman-pengalaman seks, sampai kepada mereka yang menganjurkan kebebasan seks yang seluas-luasnya. Diantara mereka ada yang menentang pendidikan seks, ada juga golongan yang mengajarkan seks, ada juga yang menghendaki kebebasan seks yang seluas-luasnya, ada yang berpendapat bahwa pendidikan seks juga perlu bagi para orang tua, khususnya ibu-ibu yang telah “menopause” (mati haid/tidak haid lagi).
D. Kronologi Pelaksanaan Pendidikan Seks
Telah disepakati bahwa pendidikan yang berlangsung/terjadi sepanjang hayat/hidup atau life long education, atau sejak lahir sampai mati. Demikian juga pendidikan seks juga dapat dilaksanakan sepanjang hayat tetapi cukup dari lahir sampai mati.
Awal pendidikan seks dimulai sejak bayi dilahirkan, dimulai dengan sifat ingin tahu menuntun perkembangan pikirannya. Dorongan rasa ingin tahu merupakan kerinduan untuk mengetahui dan menyelidiki yang diketahuinya yang berarti merangsang kecerdasan otak, sebagai sarana berkembangnya kesanggupan untuk belajar selanjutnya.
Yang menarik perhatian dari seorang bayi yang baru dilahirkan adalah segala kebutuhan fisiknya masih harus disediakan orang tuanya (sebelum pikirannya mulai berkembang), sehingga tubuh bayi menjadi sehat, jasmani dan pikirannya. Bayi mulai tertarik pada soal makanan dan kesenangan-kesenangan fisik, kemudian barulah pikirannya mulai berkembang. Mula-mula bayi merasakan perasaan segar/sehat, kasih sayang, kehangatan, melihat pemandangan-pemandangan indah dan menarik, mendengar/menikmati bunyi-bunyian dan sebagainya.
Sekitar umur tiga sampai tujuh tahun, kecerdasan otak anak berkembang sampai taraf dimana ia mulai mengadakan pertanyaan, misalnya bagaimana ia dilahirkan ke dunia sebagai pertanyaan kekanak-kanakan. Pertanyaan semacam ini harus dijawab dengan penuh kebijaksanaa, penuh kasih sayang tanpa unsur yang menakut-nakuti, sehingga keluarga sebagai tempat pendidikan informal terlaksana dengan baik dan lancar, misalnya Berbagai pertanyaan yang dikemukakan anak tentang proses kelahiran, dan sebagainya.
Dalam bukunya Handbook on Sex Instruction Ottensen-Jensen membuat rencana pendidikan seks menurut golongan umur, yaitu:
Umur 7-10 tahun: dimulai dengan memberikan fakta-fakta tentang reproduksi pada umumnya, yaitu fertilisasi, perkawinan, serta persalinan pada binatang-binatang (ayam, kambing, ikan dan sebagainya).
Umur 10-13 tahun: diberikan embriologi alat kelamin dalam anatomi, dan sebagainya tanda-tanda kelamin sekunder, menstruasi/haid, pertumbuhan fetus/janin, dan persalinan. Harus disertai pemberian nasehat, agar jangan sampai/mudah diajak ikut dengan orang yang belum dikenal karena kemungkinan terjadinya penculikan atau pemerkosaan.
Umur 13-16 tahun: diberikan diskusi sexual intercourse (persetubuhan), premarital intercourse (persetubuhan sebelum nikah), illegitimasi (perkawinan tidak sah), dan VD (verereal Disease). Pada taraf ini diterangkan aspek social dari hubungan seks, yaitu tanggung jawab terhadap pasangan/partnernya, terhadap anak yang mungkin dilahirkan, dan terhadap lingkungannya.
Harus diterangkan/ditekankan pula tentang hubungan seks sebagai suatu tindakan yang harus berdasarkan perasaan saling cinta-mencintai dan harga menghargai. Banyak bukti menunjukan, keluarga bahagia adalah tempat yang terbaik untuk mendidik anak.
Umur 16 tahun ke atas, termasuk mereka yang telah menikah, tanpa bekal pendidikan seks sebelumnya, menurut pendapat penulis perlu mendapat perhatian, karena meskipun terlambat lebih baik daripada tidak pernah mendapatkan sama sekali, sehingga pasangan-pasangan tersebut masih dapat melakukan intensifikasi serta meningkatkan gairah dan membahagiakan pernikahannya. Termasuk mereka yang menopause, perkawinan/pernikahan mereka harus tetap indah, ditambah pendidikan seks yang semakin memantapkan kehidupan mereka berumah tangga yang akan menjadi teladan bagi keluarga, cucu-cucu, dan seluruh keturunannya.
Jadi pendidikan seks yang paling efektif diperoleh dari orang tua atau pengganti orang tua dalam rumah tangga yang bahagia. Disekolah-sekolah dapat ditekankan tentang ajaran kejujuran, tanggungjawab, self controle, dan anticipation.
Adapun hal-hal yang perlu dibicarakan dalam pendidikan seks, antara lain tentang impotensi (ketidakmampuan seksual pada pria), frigiditas pada wanita (gangguan dan ketidakmampuan seksual pada wanita), menstruasi/haid atau “datang bulan”, seks dan moral agama.
E. Pendidikan Seks dalam perspektif sosiologi Pendidikan Islam
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kebahagian individu dan keluarga serta masyarakat. Memasuki jenjang rumah tangga, selain didukung kematangan seksual (well adjusted) perlu didukung pula oleh moral agama, sehingga dapat melaksanakan seksualitasnya secara bertanggung jawab bagi dirinya masing-masing serta lingkungan sosialnya sesuai dengan agama. Karena dalam agama telah diatur peranan seks dalam perkawinan dalam kehidupan sehari-hari.
Agama dapat menjamin kebahagiaan dalam kehidupan suami-isteri, hanay kata-kata ini bukan dari para ulama/rohaniawan, melainkan merupakan pernyataan yang didukung oleh fakta-fakta, keruntuhan moral di bidang seks, baik bagi anak-anak muda maupun bagi pasangan-pasanagan suami-isteri adalah karena kebanyakan mengenyampingkan tuntunan agama, hingga tidak memiliki keyakinan iman sebagai pegangan hidup. Tanpa dasar iman, orang mudah diperbudak oleh nafsunya oleh nafsunya. Perhatikanlah firman Allah dalam Surah at Tahrim ayat 6:
••
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. 66: 6).
“dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan” (QS. 78: 8)
Maksud ayat diatas, untuk menertibkan dan penyaluran nafsu seksual, manusia hidup berjodoh-jodoh sebagai suami isteri secara baik-baik sebagaimana diatur dalam hidup perkawinan.
Kalau ditinjau dari aspek sosiologi pendidikan seks mempunyai struktur sosial yang jelas yaitu hubungan interaksi antara anak didik, guru dan lingkungan. Yang kedua, unsure-unsur sosial yang pokok yaitu norma/kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan social itu. yang ketiga, proses social yakni pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan seperti pengaruh pendidikan seks itu bagi jiwa dan kepribadian anak. Keempat, perubahan sosial, yaitu segala perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, seperti nilai, sikap dan sebagainya.
F. Simpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan seks adalah merupakan usaha sadar untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang betul-betul matang (well adjusted) dapat menggunakan seksualitasnya dengan bertanggungjawab, sehingga membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan lingkungan/masyarakatnya
2. Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex-instruction dan education in sexuality. Sex-instruction ialah penerangan mengenai anatomi dan biologi dari reproduksi, termasuk pembinaan keluarga dan metode-metode kontrasepsi. Sedangkan education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk dapat memahami dirinya sendiri sebagai individu, serta untuk dapat mengadakan hubungan interpersonal yang baik.
3. Pendidikan seks sewajarnya dimulai dari awal tahun kelahiran anak sampai menjelang dewasa, sehingga terjadinya proses pendewasaan bagi anak.
4. Agama Islam (menurut pandangan Islam) pendidikan seks sesungguhnya merupakan sebuah keharusan yang diberikan kepada anak, yang diharapkan akan memberikan makna positif bagi anak, sehingga dalam menghadapi kehidupan berkeluarga akan menjadi lebih baik dan bahagia.
Sumber kutipan:
1. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan: suatu analisis sosiologi tentang pelbagai problem pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
2. H. Hamka Abdul Aziz, Pendidikan karakter berpusat pada hati, Al Mawardi, Jakarta, 2010.
3. Al Qur’an digital versi 2,0