A. Pendahuluan
Problema seks merupakan dasar setiap problema kelakuan lainnya, karenanya naluri seks adalah sumber tenaga manusia. Dengan demikian, berketurunan dan pembiakan adalah fakta alamiah yang sangat penting, sehingga setiap fakta lainnya dalam kehidupan bekerja untuk mengabdi kepada fakta pokok ini.
Freud dan pengikut-pengikutnya mengarahkan penelitiannya kepada pandangan bahwa dorongan seks itu telah ada sejak manusia dilahirkan , hanya bentuknya yang berbeda, baik pada masa bayi, kanak-kanak, remaja, dan remaja. Seks sering diterjemahkan/diartikan sebagai rasa nikmat/lezat atau rasa syuur.
Kenikmatan itu menurut Freud berawal dari kenikmatan seks pribadi pada bayi (autoerotism) kemudian menjadi kenikmatan seksual yang dikenal pada orang dewasa. Kenikmatan dapat dilihat pada waktu menikmati susu ibunya dengan tangan membelai/mengelus-elus ibunya, sebaliknya ibunya merasakan kasih saying pada anaknya, dan dibelainya, serta diciumnya anak bayinya. Sesungguhnya hal semacam itu identik dengan dorongan seksual dewasa.
Pengalaman-pengalaman pribadi seorang anak itu merupakan sebuah realita yang harus disikapi oleh setiap orang, tidak terkecuali bagi para orangtua, para pemerhati pendidikan dan lainnya. Dan pendidikan seks pun tidak menjadi sebuah kata yang tabu diungkapkan dan terpenting diketahui sejak dini oleh seorang anak, sehingga hal-hal yang tidak baik dapat dihindarkan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka makalah ini akan mengkaji lebih dalam lagi bagaimana pandangan sosiologi pendidikan Islam terhadap pendidikan seks itu.
B. Pengertian Pendidikan Seks
Pendidikan berasal dari kata “didik”. Bila kata ini mendapat awalan “me” akan menjadi “Mendidik”, artinya memelihara dan member pelatihan. Dalam memelihara dan member pelatihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan lebih dari sekadar pengajaran, karena pengajaran hanyalah aktivitas proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan karakter dengan segala aspek yang dicakupnya. Melalui pendidikan diharapkan manusia benar-benar menemukan “jati dirinya” sebagai manusia.
Secara umum pendidikan dimaknai sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya”.
Adapun pengertian pendidikan seks merupakan usaha sadar untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang betul-betul matang (well adjusted) dapat menggunakan seksualitasnya dengan bertanggungjawab, sehingga membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan lingkungan/masyarakatnya.
Pada International Conference of Sex Education and Family Planning tahun 1962 dicapai kesepakatan , bahwa “tujuan dari pendidikan seks untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya, secara bertanggungjawab terhadap dirinya dan terhadap orang-orang lain” (sinonim dengan perkawinan monogami yang bahagia dan sejahtera). Dalam suasana demikian dapat membina keluarga yang utuh serta penuh kasih yang saling harga-menghargai sehingga dapat mendapat anak-anak yang sehat dan bahagia pula.
Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex-instruction dan education in sexuality.
Sex-instruction ialah penerangan mengenai anatomi dan biologi dari reproduksi, termasuk pembinaan keluarga dan metode-metode kontrasepsi. Sedangkan education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk dapat memahami dirinya sendiri sebagai individu, serta untuk dapat mengadakan hubungan interpersonal yang baik. Maka pada dasarnya pendidikan seks meliputi bidang-bidang:
1. Biologi dan fisiologi, yaitu mengenai fungsi reproduksi.
2. Etika, yaitu yang menyangkut kebahagiaan orang itu sendiri.
3. Moral, mengenai hubungan dengan orang-orang lain, seperti partnernya dan dengan anak-anaknya.
4. Sosiologi, mengenai pembentukan keluarga.
Sex instruction tanpa education in sexuality dapat menyebabkan promiscuita (perkawinan semuanya, seperti ayam) serta hubungan-hubungan seks yang tidak bertanggungjawab.
Dari eksperimen yang dilakukan di Rusia dan Swedia, ternyata tidaklah mudah untuk mengajarkan di sekolah-sekolah, terutama tentang tanggungjawab dari kegiatan seksual (sexual activity) terhadap masyarakat, bila tanpa adanya latar belakang keluarga yang bahagia. Bukti-bukti menunjukan, bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga bahagia, dikemudiaan hari dapat membentuk perkawinan dan keluarga yang bahagia pula.
C. Mengapa Perlu Pendidikan Seks?
Menurut hasil survey Mc. Curry di sekolah menengah di USA beberapa waktu lalu menunjukan, kebanyakan siswa-siswa melontarkan kritik terhadap para orang tua karena tidak pernah memberikan informasi tentang seks kepada anak-anaknya. Dua pertiga dari mereka sama sekali tidak mendapat informasi apa-apa, sedang sisanya hanya mendapatkan penerangan sekadarnya.
Pada survey yang lain ternyata 70% anak wanita mendapat informasi seks terutama dari ibunya, bahwa seks itu kotor, sebab orang tua sendiri juga meliputi perasaan malu dan bersalah mengenai seks, sehingga tak punya pegangan dalam hal seksualitas dan gejala seksual. Apalagi para orang tua sering menganggap bahwa pembicaraan/informasi seks termasuk tabu/pemali. Sedangkan dua pertiga anak laki-laki ternyata telah mengetahui tentang hubungan seks sebelum orang tua mereka menginformasikannya.
Persoalannya sekarang, bagaimana mendidik para kawula muda ke arah sikap seksual (sexual attitudes) yang sehat, bila masyarakat dewasa pun belum sepaham dalam hal ini. Biasanya pendapat-pendapat mengenai pendidikan seks berbeda-beda, mulai dari mereka yang menganjurkan untuk sama sekali tidak mencari pengalaman-pengalaman seks, sampai kepada mereka yang menganjurkan kebebasan seks yang seluas-luasnya. Diantara mereka ada yang menentang pendidikan seks, ada juga golongan yang mengajarkan seks, ada juga yang menghendaki kebebasan seks yang seluas-luasnya, ada yang berpendapat bahwa pendidikan seks juga perlu bagi para orang tua, khususnya ibu-ibu yang telah “menopause” (mati haid/tidak haid lagi).
D. Kronologi Pelaksanaan Pendidikan Seks
Telah disepakati bahwa pendidikan yang berlangsung/terjadi sepanjang hayat/hidup atau life long education, atau sejak lahir sampai mati. Demikian juga pendidikan seks juga dapat dilaksanakan sepanjang hayat tetapi cukup dari lahir sampai mati.
Awal pendidikan seks dimulai sejak bayi dilahirkan, dimulai dengan sifat ingin tahu menuntun perkembangan pikirannya. Dorongan rasa ingin tahu merupakan kerinduan untuk mengetahui dan menyelidiki yang diketahuinya yang berarti merangsang kecerdasan otak, sebagai sarana berkembangnya kesanggupan untuk belajar selanjutnya.
Yang menarik perhatian dari seorang bayi yang baru dilahirkan adalah segala kebutuhan fisiknya masih harus disediakan orang tuanya (sebelum pikirannya mulai berkembang), sehingga tubuh bayi menjadi sehat, jasmani dan pikirannya. Bayi mulai tertarik pada soal makanan dan kesenangan-kesenangan fisik, kemudian barulah pikirannya mulai berkembang. Mula-mula bayi merasakan perasaan segar/sehat, kasih sayang, kehangatan, melihat pemandangan-pemandangan indah dan menarik, mendengar/menikmati bunyi-bunyian dan sebagainya.
Sekitar umur tiga sampai tujuh tahun, kecerdasan otak anak berkembang sampai taraf dimana ia mulai mengadakan pertanyaan, misalnya bagaimana ia dilahirkan ke dunia sebagai pertanyaan kekanak-kanakan. Pertanyaan semacam ini harus dijawab dengan penuh kebijaksanaa, penuh kasih sayang tanpa unsur yang menakut-nakuti, sehingga keluarga sebagai tempat pendidikan informal terlaksana dengan baik dan lancar, misalnya Berbagai pertanyaan yang dikemukakan anak tentang proses kelahiran, dan sebagainya.
Dalam bukunya Handbook on Sex Instruction Ottensen-Jensen membuat rencana pendidikan seks menurut golongan umur, yaitu:
Umur 7-10 tahun: dimulai dengan memberikan fakta-fakta tentang reproduksi pada umumnya, yaitu fertilisasi, perkawinan, serta persalinan pada binatang-binatang (ayam, kambing, ikan dan sebagainya).
Umur 10-13 tahun: diberikan embriologi alat kelamin dalam anatomi, dan sebagainya tanda-tanda kelamin sekunder, menstruasi/haid, pertumbuhan fetus/janin, dan persalinan. Harus disertai pemberian nasehat, agar jangan sampai/mudah diajak ikut dengan orang yang belum dikenal karena kemungkinan terjadinya penculikan atau pemerkosaan.
Umur 13-16 tahun: diberikan diskusi sexual intercourse (persetubuhan), premarital intercourse (persetubuhan sebelum nikah), illegitimasi (perkawinan tidak sah), dan VD (verereal Disease). Pada taraf ini diterangkan aspek social dari hubungan seks, yaitu tanggung jawab terhadap pasangan/partnernya, terhadap anak yang mungkin dilahirkan, dan terhadap lingkungannya.
Harus diterangkan/ditekankan pula tentang hubungan seks sebagai suatu tindakan yang harus berdasarkan perasaan saling cinta-mencintai dan harga menghargai. Banyak bukti menunjukan, keluarga bahagia adalah tempat yang terbaik untuk mendidik anak.
Umur 16 tahun ke atas, termasuk mereka yang telah menikah, tanpa bekal pendidikan seks sebelumnya, menurut pendapat penulis perlu mendapat perhatian, karena meskipun terlambat lebih baik daripada tidak pernah mendapatkan sama sekali, sehingga pasangan-pasangan tersebut masih dapat melakukan intensifikasi serta meningkatkan gairah dan membahagiakan pernikahannya. Termasuk mereka yang menopause, perkawinan/pernikahan mereka harus tetap indah, ditambah pendidikan seks yang semakin memantapkan kehidupan mereka berumah tangga yang akan menjadi teladan bagi keluarga, cucu-cucu, dan seluruh keturunannya.
Jadi pendidikan seks yang paling efektif diperoleh dari orang tua atau pengganti orang tua dalam rumah tangga yang bahagia. Disekolah-sekolah dapat ditekankan tentang ajaran kejujuran, tanggungjawab, self controle, dan anticipation.
Adapun hal-hal yang perlu dibicarakan dalam pendidikan seks, antara lain tentang impotensi (ketidakmampuan seksual pada pria), frigiditas pada wanita (gangguan dan ketidakmampuan seksual pada wanita), menstruasi/haid atau “datang bulan”, seks dan moral agama.
E. Pendidikan Seks dalam perspektif sosiologi Pendidikan Islam
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan kebahagian individu dan keluarga serta masyarakat. Memasuki jenjang rumah tangga, selain didukung kematangan seksual (well adjusted) perlu didukung pula oleh moral agama, sehingga dapat melaksanakan seksualitasnya secara bertanggung jawab bagi dirinya masing-masing serta lingkungan sosialnya sesuai dengan agama. Karena dalam agama telah diatur peranan seks dalam perkawinan dalam kehidupan sehari-hari.
Agama dapat menjamin kebahagiaan dalam kehidupan suami-isteri, hanay kata-kata ini bukan dari para ulama/rohaniawan, melainkan merupakan pernyataan yang didukung oleh fakta-fakta, keruntuhan moral di bidang seks, baik bagi anak-anak muda maupun bagi pasangan-pasanagan suami-isteri adalah karena kebanyakan mengenyampingkan tuntunan agama, hingga tidak memiliki keyakinan iman sebagai pegangan hidup. Tanpa dasar iman, orang mudah diperbudak oleh nafsunya oleh nafsunya. Perhatikanlah firman Allah dalam Surah at Tahrim ayat 6:
••
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. 66: 6).
“dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan” (QS. 78: 8)
Maksud ayat diatas, untuk menertibkan dan penyaluran nafsu seksual, manusia hidup berjodoh-jodoh sebagai suami isteri secara baik-baik sebagaimana diatur dalam hidup perkawinan.
Kalau ditinjau dari aspek sosiologi pendidikan seks mempunyai struktur sosial yang jelas yaitu hubungan interaksi antara anak didik, guru dan lingkungan. Yang kedua, unsure-unsur sosial yang pokok yaitu norma/kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial dan lapisan social itu. yang ketiga, proses social yakni pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan seperti pengaruh pendidikan seks itu bagi jiwa dan kepribadian anak. Keempat, perubahan sosial, yaitu segala perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial, seperti nilai, sikap dan sebagainya.
F. Simpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan seks adalah merupakan usaha sadar untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang betul-betul matang (well adjusted) dapat menggunakan seksualitasnya dengan bertanggungjawab, sehingga membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan lingkungan/masyarakatnya
2. Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex-instruction dan education in sexuality. Sex-instruction ialah penerangan mengenai anatomi dan biologi dari reproduksi, termasuk pembinaan keluarga dan metode-metode kontrasepsi. Sedangkan education in sexuality meliputi bidang-bidang etika, moral, fisiologi, ekonomi dan pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan seseorang untuk dapat memahami dirinya sendiri sebagai individu, serta untuk dapat mengadakan hubungan interpersonal yang baik.
3. Pendidikan seks sewajarnya dimulai dari awal tahun kelahiran anak sampai menjelang dewasa, sehingga terjadinya proses pendewasaan bagi anak.
4. Agama Islam (menurut pandangan Islam) pendidikan seks sesungguhnya merupakan sebuah keharusan yang diberikan kepada anak, yang diharapkan akan memberikan makna positif bagi anak, sehingga dalam menghadapi kehidupan berkeluarga akan menjadi lebih baik dan bahagia.
Sumber kutipan:
1. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan: suatu analisis sosiologi tentang pelbagai problem pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
2. H. Hamka Abdul Aziz, Pendidikan karakter berpusat pada hati, Al Mawardi, Jakarta, 2010.
3. Al Qur’an digital versi 2,0
Kamis, 12 Januari 2012
Home »
Pendidikan
» PENDIDIKAN SEKS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
0 komentar:
Posting Komentar